Sebelum Maghrib kita yakin sudah berwudhu dengan benar dan wudhu itu kita gunakan untuk shalat. Menjelang Isya’ mungkin ada perasaan atau was-was, apakah wudhu shalat Maghrib tadi sudah batal ataukah belum. Untuk keadaan seperti ini kalau yakin tidak kentut dan tidak melakukan pembatal wudhu lainnya, maka tetaplah berpegang pada kondisi awal (yang yakin). Keyakinan belum batal wudhu tidak bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan. Jika yakin benar sudah batal, itulah kondisi yang diambil dan ketika itu barulah kita berwudhu. Kaedah yang kita bahas kali ini amat membantu untuk memahami masalah semacam ini.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait sya’irnya,
وترجع الأحكام لليقين
فلا يزيل الشك لليقين
Hukum merujuk pada yang yakin,
Karenanya yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan
Yang dimaksud ragu-ragu dalam kaedah di atas adalah keadaan yang tidak bisa menguatkan salah satu dari beberapa pilihan. Sedangkan yang dimaksud yakin adalah ketenangan hati dan adanya pengetahuan (ilmu).
Adapun maksud kaedah adalah hukum itu merujuk pada yang yakin. Jika datang keraguan, sedangkan sebelumnya masih ada yang yakin, maka tidak boleh berpaling pada yang ragu tersebut dan tetap berpegang pada yang yakin.
Kaedah ini berlaku dalam semua bab fikih. Bahkan beberapa kaedah fikih berada di bawah kaedah pokok ini yang nanti akan disampaikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam bait kaedah fikih selanjutnya.
Dalil Kaedah
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28).
Dalam shahih Bukhari-Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari no. 177 dan Muslim no. 361).
Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas,
مَعْنَاهُ يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَهَذَا الْحَدِيث أَصْل مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْفِقْه ، وَهِيَ أَنَّ الْأَشْيَاء يُحْكَم بِبَقَائِهَا عَلَى أُصُولهَا حَتَّى يُتَيَقَّن خِلَاف ذَلِكَ . وَلَا يَضُرّ الشَّكّ الطَّارِئ عَلَيْهَا
“Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijma’). Hadits ini menjadi landasan suatu kaedah dalam Islam dan menjadi kaedah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-tiba, maka tidak membahayakan.” (Syarh Muslim, 4: 49).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كُلُّ احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ
“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang tidak ada patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56)
Contoh Kaedah
1- Siapa yang yakin dalam keadaan suci, kemudian dalam keadaan ragu-ragu datang hadats, maka ia tetap dalam keadaan thoharoh (suci), baik hal ini didapati ketika shalat atau di luar shalat. Inilah pendapat madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama lainnya dari salaf (ulama dahulu) dan kholaf (ulama belakangan). Demikian kata Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana dalam Syarh Muslim, 4: 49.
2- Siapa yang berhadats di shubuh hari, kemudia ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka ia dihukumi seperti keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Jadinya ia harus berwudhu. Karena keadaan awal itulah keadaan yang yakin dan tidak bisa dikalahkan dengan hanya sekedar ragu-ragu. (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 77)
3- Barangsiapa yang di sore hari menjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu akan tenggelamnya matahari, maka batal puasanya. Karena yang yakin adalah matahari belum tenggelam dan yakin tersebut tidak bisa dihilangkan dengan sekedar ragu-ragu. Lihat Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 283.
4- Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa air tersebut najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air -inilah hukum yakinnya- adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu. (Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 283).
5- Jika seseorang bepergian jauh ke suatu negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka waktu yang lama. Lalu muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada berita yang menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin. Maka tidak boleh ia dinyatakan mati sampai datang berita yang pasti (yang yakin). Sehingga ahli waris tidak bisa begitu saja membagi hartanya sebagai warisan sampai yakin akan kematiannya. (Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 282).
6- Jika seseorang yakin di pakaiannya terdapat najis, namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka kehati-hatian, ia menggosok seluruh bagian dari pakaiannya. Karena keraguan tidak bisa menghilangkan yang yakin. (Al Mufasshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 282).
7- Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan, atau barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْأَصْلُ فِيمَا بِيَدِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لَهُ
“Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang muslim adalah miliknya” (Majmu’ Al Fatawa, 29: 323). Inilah hukum asalnya dan inilah yang yakin. Yang yakin ini tidak bisa dikalahkan dengan sekedar keraguan.
8- Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu dalam masalah menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan) bahkan tidak disunnahkan sama sekali untuk menanyakannya. Bahkan yang dianjurkan adalah membangun perkara di atas hukum asal yaitu suci. Jika ada indikasi yang menunjukkan najis, barulah dikatakan najis. Jika tidak, maka tidak perlu sampai dianjurkan untuk menjauhi penggunaan air tersebut cuma atas dasar sangkaan. Namun jika telah sampai hukum yakin, maka ini masalah lain lagi. Demikian yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 21: 56.
Kaedah Istishab
Di bawah kaedah ini terdapat istilah yang dikenal dengan kaedah istishab (hukum asal), di mana kaedah tersebut adalah di antara dalil syar’i yang bisa digunakan. Di antara bentuk istishab:
1- Istishab ibahah, yaitu hukum asal segala perbuatan adalah mubah (boleh).
2- Istishab baro-ah, yaitu hukum asal sesuatu adalah lepas dari kewajiban sampai datangnya dalil.
3- Istishab nash syar’i, yaitu hukum asal dalil syar’i adalah tetap berlaku sampai datangnya mansukh (penghapus).
4- Istishab ‘umum, yaitu hukum asal berlaku umum sampai ada dalil yang mengkhususkan.
5- Istishab washf, yaitu hukum asal sesuatu adalah sesuai dengan sifatnya sampai datang yang menyelisihinya, seperti di pagi hari telah dalam keadaan suci, maka keadaan kedua tetap dihukumi suci jika tidak ada dalil yang menunjukkan penyelisihan.
Lima kaedah istishab di atas disepakati oleh para ulama. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 77-78.
Semoga kaedah ini bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Maktab Jaliyat (Islamic Center) Bathaa’, Riyadh-KSA, 28 Shafar 1434 H